ARTIKEL

Saatnya OMS Melepaskan Ketergantungan

Bagi sebagian besar organisasi masyarakat sipil di negara berkembang, termasuk Indonesia, menjalankan kegiatan operasional organisasi yang profesional tanpa mempunyai kemampuan finansial yang mendukung adalah suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, mencari bantuan dana dari pihak lain (termasuk pihak donor asing dari negara-negara maju ) merupakan salah satu agenda kegiatan yang tidak bisa dihindari. Asumsi inilah yang dikemukakan oleh Richard Holloway, seorang aktivis NGO donor yang berpengalaman berpuluh tahun, dalam bukunya berjudul ” Menuju Kemandirian Keuangan: Buku Panduan mengenai Penggalangan Organisasi Masyarakat Sipil di Negara-negara Selatan”. Dengan mengambil kasus organisasi masyarakat sipil (OMS) dan LSM/ornop di negara-negara Selatan (Amerika Latin dan sekitarnya), Holloway hendak mengungkap kesulitan-kesulitan mereka dalam mencari dana untuk pengelolaan program mereka, hingga bagaimana memenej keuangan sehingga menguntungkan bagi organisasi tersebut, tidak saja secara finansial, tetapi yang lebih penting lagi dengan aset yang ada, membawa hasil optimal bagi keberlangsungan program organisasi tersebut.

Diawali dengan kata pengantar dari Emil Salim, salah satu aktivis lingkungan hidup dan ekonomi dan mantan pejabat di Indonesia yang sangat vokal, Holloway membagi buku ini dalam 4 bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari beberapa bab dan penjelasan yang cukup panjang lebar.

Ketika masyarakat sipil di negara-negara miskin dan berkembang merasakan kebutuhan yang mendesak untuk berorganisasi dan bertujuan membangun kesejahteraan mereka bersama di bawah tekanan arus kapitalisme global, maka apa saja yang harus diperhatikan dalam menggali sumber-sumber daya sebagai kekuatan mereka ? Pada Bagian 1 yang diberi judul Menyiapkan Latar inilah, Holloway mengungkapkan banyak hal guna menjawab pertanyaan tersebut. Pada bab 1 di bagian ini (Gambaran Umum), Holloway memberikan deskripsi umum mengenai persoalan-persoalan OMS di negara-negara Selatan yang mengalami ketergantungan dengan lembaga donor asing ( ia menyebutnya lembaga dari Negara Utara) terutama dalam hal finansial, hingga mengalami kehilangan bentuk dan visi misinya, dengan asumsi ” sumber daya, khususnya uang, tidak dinilai sebagai sesuatu yang memiliki nilai netral atau nilai bebas. Pemberian uang akan selalu disertai beban tertentu tergantung pada tempat dan budaya darimana uang itu berasal”. Sebuah kritikan yang tajam di awal tulisan ini diharapkan memunculkan kesadaran bagi OMS untuk segera mengambil langkah pembenahan dan mengkaji sumber dayanya sendiri menuju kemandirian. Pada bab 2 hingga 4, Holloway memberikan panduan bagi OMS untuk melakukan capacity building sebagai persiapan awal, seperti me ngenal kelebihan dan kelemahan organisasinya, sampai pada menganalisis kemungkinan siapa saja yang bisa menjadi donatur di luar lembaga donor asing.

Bila OMS sudah melakukan aktivitas ini, maka sampailah pada kegiatan riil mencari cara menggalang dana, yang oleh Holloway dijelaskan secara lebih teknis dan pragmatis pada Bagian II yang diberi titel Cara-cara Menggalang Dana. Bagian yang juga merupakan inti perbincangan dalam buku ini mengungkap banyak alternatif cara dan strategi pencarian dana (fundraising) yang aman bagi OMS dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari ‘cap’ kapitalisasi organisasi sosial (dan politik) yang seharusnya bebas dari kepentingan ekonomis seperti itu. Ada beberapa catatan menarik di sini, yang barangkali bisa memunculkan kontroversi di kalangan OMS dan LSM. Salah satunya adalah Holloway menyarankan agar OMS jangan takut bertindak sebagai lembaga bisnis untuk mencari pendapatan guna membiayai aktivitas program dan administrasinya (termasuk menggaji stafnya). Ini menurutnya, dimaksudkan lebih pada upaya OMS dan LSM untuk bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada bantuan lembaga donor asing. Tetapi tentu saja bukan tanpa syarat, karena bisa mengaburkan visi dan misi OMS yang bersangkutan. Syarat yang benar-benar digarisbawahi olehnya adalah, perlu ada batasan-batasan dan aturan hukum yang sangat tegas yang harus dipatuhi oleh OMS dalam menjalankan bisnisnya –termasuk ladang bisnis apa dan yang bagaimana. Ini penting, agar OMS tidak mengalami kehilangan bentuk, visi, dan misi idealisme awalnya, terutama bagi OMS dan LSM yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan dan peningkatan ekonomi konstituennya. Contoh kasus OMS yang berbisnis–baik di negara-negara Amerika Latin dan Indonesia banyak dipaparkan di sini.

Strategi dan celah perolehan dana di luar hibah donor asing yang diperkenalkan oleh Holloway ada 12 metode, di antaranya adalah pendirian yayasan lokal yang ditujukan untuk menyerap bantuan, kontribusi dari perorangan, pendirian organisasi akar rumput, dana dari pemerintah negara di mana OMS atau LSM itu berada, dunia bisnis, usaha meningkatkan dana abadi lembaga, konversi hutang, dan lain-lain. Secara detail Holloway memaparkan keuntungan, kesempatan, kendala atau kesulitan, sampai kelemahan yang vital apabila OMS dan LSM yang bersangkutan kurang hati-hati dalam menentukan kebijakan fundraising ini. Yang unik dalam pemaparan Holloway adalah, gagasannya tentang penggalangan dana melalui media yang barangkali belum pernah terpikrkan oleh lembaga sosial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yaitu penggunaan media internet. Ini penting menurutnya, karena di era informasi seperti sekarang ini dituntut kemauan besar lembaga untuk tetap menjalin hubungan dengan lembaga lain melalui media yang serba cepat, mampu melampaui dan menembus batas negara dan kultur, bila lembaga yang bersangkutan ingin tetap eksis dan kuat, serta dikenal oleh calon-calon nara sumber pendapatan bagi lembaga itu sendiri. Dalam hal ini, lembaga yang berani berpromosi melalui media internet juga dituntut akuntabilitas sosialnya, seperti apa saja yang telah ia lakukan sebagai OMS dan LSM di negara dan masyarakatnya. Sehingga bukan tidak mungkin, banyak sumber pendapatan dana akan datang menawarkan diri untuk menyokong secara suka rela lembaga itu. Bagian ini juga sangat penting diperhatikan oleh pengurus pemula OMS yang sedang merintis lembaganya, karena Holloway memperkenalkan histori bagaimana lembaga donor asing itu terbentuk, bagaimana mereka memperoleh dana untuk membiayai OMS di negara dunia berkembang, sampai pada alasan mengapa dunia bisnis pun mau menyumbang OMS demi ‘mengemban tanggung jawab sosial’. Dengan mengetahui seluk beluknya pengurus OMS bisa mempunyai banyak pertimbangan untuk memilih salah satu di sekian banyak alternatif fundraising yang ditawarkan. Contoh kasus OMS dan LSM yang mempunyai pengalaman fundraising berbeda-beda yang terperinci di setiap sub bab metode sangat membantu pembaca untuk memahami pemaparan Holloway.

Setelah mengetahui lebih jelas mengenai alternatif strategi fundraising di luar dana hibah dari lembaga donor asing, barangkali kesulitan yang dialami oleh OMS di negara dunia berkembang adalah mengubah cara pandang mereka, dan beralih dari metode fundraising yang selama ini lazim dilakukan ke metode alternatif yang ditawarkan oleh Holloway. Ini bisa dimaklumi, karena mengubah kebiasaan itu mau tidak mau mengubah manajemen dan struktur organisasi yang bersangkutan. Prinsip dasar inilah yang akan kita tangkap pada pembahasan bagian III yang bertitel “Memutuskan Arah dan Tujuan”- Bab 16 “Langkah Berikutnya”. Ketika sebuah OMS (dan LSM) berkemauan keras hendak melakukan perubahan besar dalam hal penggalangan dana -yang selama ini hampir seratus persen didapat dari donor asing– dan memilih salah satu alternatif yang memungkinkan bagi lembaganya, Holloway memberikan semacam peringatan bagi lembaga itu untuk benar-benar mempertimbang-kan segala kemungkinan, dilihat dari aspek dampak positif dan negatif setiap tipe pilihan alternatif metode fundraising. Semua tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, tetapi mana yang mungkin dilakukan oleh lembaga itu dan meminimalkan kerugian yang bisa saja terjadi di lembaga tersebut, ini penting untuk dicermati. Juga lembaga harus mempunyai pertimbangan lain di luar kondisi OMS dan LSM, seperti regulasi atau aturan hukum di negara dimana OMS berada, dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berkembang di lingkungannya.

Bagian terakhir, yaitu bagian IV, mengungkap kasus-kasus OMS dan LSM di Indonesia. Barangkali ini bagian yang paling disukai oleh pembaca, karena selain dituliskan oleh aktivis OMS dan LSM Indonesia – Rustam Ibrahim – dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, kecenderungan orang lebih suka membaca pengalaman yang sudah terjadi daripada teori, dan dekat dengan fenomena yang terjadi di negara sendiri. Tambahan pula kasus-kasus ini diungkapkan oleh LSM dan OMS yang terkenal di Indonesia dan dibilang cukup sukses melakukan perubahan. Sebut saja LP3ES, WALHI, Yayasan Kehati, YIS, Bina Swadaya, dan lain-lain. Masing-masing lembaga juga mengungkapkan kelemahan dan kelebihan metode fundraising yang dilakukan, dan melakukan otokritik terhadap pilihan metode tersebut. Secara global, buku ini sangat perlu untuk dibaca oleh aktivis OMS dan LSM yang bercita-cita melepas ketergantungan dengan pihak asing secara finansial maupun politis, baik yang sedang merintis maupun yang sudah berpengalaman selama berpuluh-puluh tahun, meskipun latar belakang kasus yang diambil kebanyakan yang sedang terjadi di negara-negara Selatan ( Amerika Latin dan sekitarnya). Buku ini selain bisa menjadi inspirator, juga bisa menjadi panduan praktis yang dalam beberapa hal memudahkan aktivis dalam menentukan masa depan keuangan lembaganya. Hanya saja, panduan praktis ini belum seutuhnya menjawab persoalan-persoalan pengelolaan keuangan bagi OMS dan LSM yang bergerak di tataran transformasi wacana dan ideologi, atau yang sering disebut LSM transformatif, karena mereka mempunyai idealisme tersendiri yang lebih bersifat politis dan etis dalam ruang gerak mereka. Panduan ini baru bisa menjawab persoalan LSM yang developmentalis – yayasan sosial, kesehatan, peningkatan ekonomi kaum marjinal – meski beberapa contoh kasus OMS transformatif sudah diungkapkan di sini. Penulis juga menganjurkan pembaca untuk membaca buku ini dalam bahasa aslinya – bahasa Inggris- karena terjemahan yang belum memadai untuk bisa dipahami. Atau pihak penerbit perlu melakukan revisi yang cukup banyak dalam hal bahasa penuturan penulis yang tidak tekstual, sehingga buku ini lebih enak dibaca.

Tinggalkan komentar